Sejak dahulu, sebelum datangnya Islam, bangsa arab telah
menggunakan tahun kamariah. Hanya saja, tidak semua masyarakat jahiliah di
seluruh penjuru Jazirah Arab sepakat dalam menentukan kalender tertentu,
sehingga penanggalan mereka berbeda-beda. Meskipun demikian, mereka mengenal
kalender kamariah, dan mereka menggunakan konsep ini untuk membuat penanggalan
bagi suku mereka masing-masing.
Kalender kamariah, yang mereka kenal sejak zaman dahulu,
sama dengan kalender kamariah yang berlaku saat ini. Dalam satu tahun, ada dua
belas bulan, dan awal bulan ditentukan berdasarkan terbitnya hilal (bulan sabit
pertama). Mereka menetapkan bulan Muharram sebagai awal tahun. Mereka juga
menetapkan empat bulan haram (bulan suci). Mereka menghormati bulan-bulan haram
ini. Mereka jadikan empat bulan haram sebagai masa dilarangnya berperang
antar-suku dan golongan.
Asal penamaan bulan pada kalender kamariah
Tabel berikut merupakan daftar nama-nama bulan kamariah dari
berbagai versi:
No
Kalender Kaum Tsamud (Rwyt. Al-Azdi)
Kalender sebelum datangnya Islam (Rwyt. Al-Bairuni)
Kalender sebelum datangnya Islam (Rwyt. Al-Mas’udi)
Kalender sejak tahun 412 H
1
Mujab
Al-Mu’tamir
Natiq
Muharram
2
Mujir
Najir
Tsaqil
Shafar
3
Murid
Khawwan
Thaliq
Rabi’ul Awal
4
Mulzim
Shuwan/Bushon
Najir
Rabi'ul Akhir
5
Mashdar
Hantam/Hanin/Runna
Simah
Jumadil Ula
6
Hawbar
Zuba
Amnah
Jumadil Akhirah
7
Hubal
Al-Asham
Ahlak
Rajab
8
Muha
Adil
Kusa’
Sya’ban
9
Dimar
Nafiq/Nathil
Zahir
Ramadhan
10
Dabir
Waghil/Waghl
Burth
Syawal
11
Haifal
Hawa’/Rannah
Harf
Dzulqa’dah
12
Musbil
Burk
Na’as
Dzulhijjah
Penamaan bulan kamariah yang berlaku saat ini–menurut
pendapat yang kuat–telah ada sejak awal abad kelima Masehi. Ada yang
mengatakan, bahwa yang menetapkan pertama kali adalah Ka’ab bin Murrah, kakek
kelima Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ada lima bulan (Rabi’ul Awal, Rabi’ul Akhir, Jumadil Awal,
Jumadil Akhir, dan Ramadhan) yang namanya ditetapkan berdasarkan keadaan musim
yang terjadi di bulan tersebut. Rabi’ul Awal dan Akhir diambil dari kata
“rabi’” yang artinya ‘semi’, karena ketika penamaan bulan Rabi’ bertepatan
dengan musim semi. Jumadil Ula dan Akhirah, diambil dari kata “jamad”, yang
artinya ‘beku’, karena pada saat penamaan bulan ini bertepatan dengan musim
dingin, yang saat itu air membeku. Sedangkan Ramadhan diambil dari kata “ramdha’”,
yang artinya ‘sangat panas’, karena penamaan bulan ini bertepatan dengan musim
panas.
Tujuh bulan lainnya dinamai dengan nama keadaan masyarakat
dan siklus sosial. Muharram, dari kata “haram”, yang artinya ‘suci’, karena
bulan ini termasuk salah satu di antara empat bulan suci. Shafar, diambil dari
kata “shifr”, yang artinya ‘nol’ atau ‘kosong’. Dinamakan “Shafar”, karena pada
bulan ini rumah-rumah banyak yang kosong ditinggalkan penghuninya untuk
berperang. Rajab, secara bahasa artinya ‘mengagungkan’, karena masyarakat
jahiliah sangat mengagungkan bulan ini, dan dijadikan sebagai masa sangat
terlarang untuk berperang. Karena itu, mereka menyebut bulan ini dengan “Rajab
Al-A’sham” (Rajab yang sunyi).
Demikian pula, bulan Sya’ban. Kata ini diambil dari kata
“sya’bun”, yang artinya ‘kelompok’ atau ‘golongan’. Disebut Sya’ban, karena
pada bulan ini masyarakat jahiliah berpencar, membentuk kelompok-kelompok untuk
melakukan peperangan, setelah mereka meninggalkan perang di bulan Rajab.
Syawal, diambil dari kata “syalat” yang artinya ‘mengangkat’, karena bulan ini
adalah musim di saat unta betina mengangkat ekor mereka karena tidak mau
dikawini pejantan. Sementara “Dzulqa’dah” diambil dari kata “al-qa’du”, yang
artinya ‘duduk’. Pada bulan ini, masyarakat jahiliah mulai menetap di rumah dan
tidak melakukan peperangan, karena bulan ini merupakan awal dari tiga rangkaian
bulan haram. Sedangkan Dzulhijjah diambil dari nama ibadah mereka di bulan ini,
yaitu berhaji ke Baitullah (http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=27755)
Bagaimana orang arab mencatat sejarah mereka?
Masyarakat Arab tidak memiliki sistem penanggalan yang
stabil. Antara satu suku dengan suku yang lain memiliki penanggalan yang
berbeda. Ini menyebabkan ketidakseragaman pencatatan tanggal kejadian dan
sejarah di zaman jahiliah. Meskipun mereka mencatat kejadian tersebut, namun
sebatas secara cerita global, dengan acuan urutan kejadian. Misalnya: Kejadian
meninggalnya pemimpin besar mereka, Ka’ab bin Luai sebelum Peristiwa Gajah,
Perang Fijar terjadi sekian tahun setelah Peristiwa Gajah, dan seterusnya.
Sistem penanggalan di masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam
Setelah Islam tersebar melalui dakwah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, tahun kamariah ditetapkan dengan awal tahun, dimulai dengan
bulan Muharram dan diakhiri dengan bulan Dzulhijjah. Hanya saja, awal tahun dan
hitungan tahun yang tetap belum ditentukan, sehingga kaum muslimin menyebut
tahun dalam perjalanan hidup mereka dengan nama kejadian paling penting di
tahun tersebut. Mereka memberikan nama-nama tahun sebagai berikut:
Tahun pertama: Tahun Izin, karena telah diturunkan izin
untuk hijrah dari Mekah ke Madinah.
Tahun kedua: Tahun Al-Amr (perintah), karena telah turun
perintah untuk memerangi orang kafir.
Tahun ketiga: Tahun At-Tamhis (pembersihan), karena Allah
membersihkan dosa dan kesalahan kaum muslimin setelah kejadian Perang Uhud.
Tahun keempat: Tahun Tarfi`ah (kesepakatan). Dari kata
“ra-fa-a”, yang artinya ‘perjanjian damai antara dua kelompok’. Tahun kelima:
Tahun Zilzal (goncangan), sebagai isyarat atas ujian yang dialami kaum muslimin
ketika Perang Khandak.
Tahun keenam: Tahun Isti’nas (meminta izin), yang
mengisyaratkan kejadian turunnya firman Allah, yang artinya, “Janganlah kalian
memasuki rumah yang bukan rumah kalian, sampai kalian meminta izin dan memberi
salam kepada penghuninya.” (QS. An-Nur:28)
Tahun ketujuh: Tahun Istighlab (kemenangan), karena di tahun
ini, kaum muslimin berhasil mengalahkan orang yahudi daerah Khaibar.
Tahun kedelapan: Tahun Istiwa’ (berjaya). Inilah tahun
terjadinya Fathu Mekah (penaklukan kota Mekah).
Tahun kesembilan: Tahun Al-Bara`ah (berlepas diri), yaitu
tahun dilaksanakannya Haji Akbar, dan turun ayat yang menjelaskan bahwa Allah
dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berlepas diri dari kaum
musyrikin. Tahun ini juga sering disebut dengan “Tahun Wufud” (tamu), karena
pada tahun ini, masyarakat Arab dari berbagai penjuru banyak berdatangan ke
Madinah dengan berbondong-bondong, untuk menyatakan keislaman mereka kepada
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tahun kesepuluh: Tahun Al-Wada’ (perpisahan). Di tahun ini,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan Haji Wada’. (Arsip Multaqa
Ahlil Hadits, tanggal 14 Maret 2005)
Sistem penanggalan di masa sahabat
Di masa Khulafaur Rasyidun, sistem ketatanegaraan kerajaan
islam, sedikit demi sedikit, mulai dirapikan, menyesuaikan perkembangan sistem
ketatanegaraan yang berlaku di penjuru dunia, selama tidak melanggar aturan
islam. Korespondensi antar-negara telah dilangsungkan berulang kali. Namun,
yang bermasalah, kaum muslimin tidak memiliki hitungan tahun yang tetap.
Akibatnya, terkadang masing-masing memiliki nama tahun yang berbeda-beda. Ini
berlangsung di masa Khalifah Abu Bakar radhiallahu ‘anhu, dan beberapa tahun di
masa pemerintahan Umar radhiallahu ‘anhu. Sehingga kita kenal, ada istilah
“Tahun Tha’un”, karena pada tahun tersebut, terjadi wabah tha’un yang menyebar
di berbagai daerah.
Sampai akhirnya di tahun ketiga pada masa kekhalifahan Umar,
datanglah sebuah surat dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu–sahabat yang
ditugasi menjadi gubernur di Bashrah–yang isinya, “Sesungguhnya, surat-surat
dari Amirul Mukminin (Umar) sering datang kepada kami. Namun kami tidak tahu,
kapankah kami harus melaksanakan instruksi surat tersebut. Pernah kami mendapat
surat yang ditulis di bulan Sya’ban, dan kami tidak tahu apakah itu Sya’ban
tahun ini ataukah tahun kemarin.”
Seketika itu, Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu langsung
mengumpulkan para sahabat senior untuk membahas masalah ini. Pertemuan ini
dilangsungkan pada tanggal 20 Jumadil Akhir, tahun 17 Hijriah. Mereka sepakat
akan mendesaknya proses penentuan penanggalan sebagai acuan kalender islam.
Dimulai dari penentuan tahun pertama. Ada yang mengusulkan, tahun kelahiran
Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai tahun pertama, ada yang mengusulkan
dengan tahun diutusnya beliau menjadi rasul, ada yang usul menggunakan kalender
romawi atau persia, dan ada beberapa usulan lainnya.
Akhirnya, terbentuklah sebuah keputusan dengan mengambil
pendapatnya Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu, yang mengusulkan tahun
hijrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Mekah menuju Madinah, sebagai
tahun pertama. Sementara keputusan penentuan bulan yang pertama diambil
berdasarkan pendapat Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu, untuk menjadikan bulan
Muharram sebagai bulan pertama dalam Islam, karena bulan ini merupakan awal
tahun pada kalender arab sebelum Islam.
Di samping itu, Muharram termasuk salah satu bulan haram dan
kaum muslimin baru saja menyelesaikan ibadah haji. Penentuan Muharram sebagai
bulan pertama tahun Hijriah juga dibangun atas asumsi bahwa pada bulan itu
Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam belum berhijrah dan beliau sampai Madinah
sebelum Muharram tahun berikutnya. Beliau mulai berangkat hijrah di akhir bulan
Shafar, dan beliau sampai di pintu gerbang Madinah pada hari senin, tanggal 8
Rabiul Awal, kemudian beliau baru masuk Madinah hari Jumat, tanggal 12 Rabiul
Awal. Penetapan awal kalender Hijriah bertepatan dengan hari Jumat, tanggal 16
Juli 622 Masehi. (Al-Mufasshal fi Raddi ‘ala Syubuhati A’da Al-Islam, 5:238)
Ditinjau dari asal penamaannya, kalender ini lazim dikenal
dengan “kalender kamariah”, karena prinsip penentuan kalender ini berdasarkan
siklus perputaran qamar (bulan). Sementara itu, kelender ini juga sering
disebut kalender Hijriah, mengingat sejarah penetapan kalender ini bagi kaum
muslimin, dikaitkan dengan peristiwa hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dari Mekah menuju Madinah.